Senin siang itu (15/9), di dalam ruang kelas, dua orang perempuan dan seorang laki-laki duduk di bagian depan kelas memaparkan apresiasinya terhadap sebuah buku komunikasi. “So why don’t you make it simple?” ungkap salah satu penyaji nan jelita yang duduk tepat di tengah-tengah penyaji lain. Lalu, disambut tepuk tangan dan suasana ramai yang muncul setelah ungkapannya tersebut.
Ungkapan bahasa asing ini lumrah didengar dalam keseharian, mulai dari waktu-waktu mengobrol santai hingga pada pembicaraan serius. Acap kali kaum muda berbahasa dengan mencampurkan bahasa Indonesia dan bahasa asing dalam percakapannya.
Tokoh kisah di atas, Nila Kusumasari (19), mahasiswa salah satu Universitas di Bandung, mengungkapkan kebanyakan orang mencampurkan bahasa asing dalam bahasa sehari-hari karena ingin terlihat keren.
Nila sendiri saat mengobrol sering mencampurkan bahasa Inggris, terutama dalam percakapan sehari-harinya. “Kadang ada beberapa kata bahasa Inggris yang bisa lebih enak disebutkan karena lebih simple, lebih simple,” selorohnya sambil tersenyum.
Fenomena percampuran bahasa dalam percakapan dimaknai senada oleh Purwanti Hadisiwi (50), ahli Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom), Universitas Padjadjaran (Unpad) saat ditemui di Gedung Pascasarjana Fikom Unpad, pada Kamis (18/9). Perempuan berjilbab ini mengungkapkan, komunikasi berkaitan erat dengan budaya, sehingga ketika berkomunikasi kita perlu menyesuaikan bahasa yang digunakan dengan lawan bicara. Misalkan kita sedang mengobrol dengan laki-laki bersuku Jawa, kita memanggilnya mas dan menggunakan campuran bahasa jawa dalam percakapan.
Penyesuaian bahasa ini guna membentuk komunikasi yang lebih efektif. “Maksudnya itu mudah-mudahan membuat pesan yang saya sampaikan bisa seratus persen,” ungkapnya.
Ibu Pur (sapaannya) mengungkapkan, khusus bahasa Inggris ia menerapkan penggabungan bahasa dalam kegiatan akademik, seperti ketika berada di kelas. Hal ini guna memacu mahasiswa untuk memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang baik. Menurutnya, bahasa Inggris adalah bahasa yang menjadi modal berkomunikasi saat bekerja.
“Mereka merasa bangga dengan bahasa Indonesia,” ungkap dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unpad ini. Di tengah termajinalkannya bangsa Indonesia zaman penjajahan itu, bangsa Indonesia semakin bangga berbahasa Indonesia dengan selalu menggunakannya dalam keseharian. Hal ini juga merupakan bentuk pemberontakan bangsa Indonesia di zaman itu.
Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa melayu ini, sangat dijunjung oleh Presiden kedua Indonesia, Soeharto, seperti diceritakan oleh Saefullah. Setiap pidato kenegaraannya, Soeharto selalu menggunakan bahasa Indonesia, baik itu di Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) maupun pidato hubungan antar dua negara saja.
Soeharto sendiri bukan tidak bisa berbahasa asing, karena dalam percakapan biasa ia mampu berbahasa Inggris dengan cukup baik. Bahkan, Soeharto pernah suatu ketika menegur pengalih bahasanya, “kamu salah mengartikan bahasa Inggris ini, seharusnya diartikan itu dalam konteks ini,” begitu papar Saefullah. Soeharto menunjukan bahwa bahasa Indonesia merupakan identitas bangsa Indonesia di mata dunia.
Hal ini bertolak belakang dengan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, menurutnya “Jika di Indonesia diberlakukan hal yang sama seperti di Malaysia, bahasa Indonesia akan hilang dan orang Indonesia akan cenderung menggunakan bahasa Inggris.”
Pria yang saat ditemui berpakaian batik ini mengungkapkan, bahasa Indonesia akan tergerus bahasa asing, karena masyarakat Indonesia cenderung tidak bangga terhadap apa yang berasal dari bangsanya, termasuk bahasa. Orang Indonesia malas untuk memadankan kata yang berbahasa Inggris dengan bahasa Indonesia, seperti kata ‘download’ yang dipadankan dengan kata ‘unduh’. Bahasa Indonesia disepelekan karena dianggap bahasa sehari-hari yang tidak perlu dipelajari lebih dalam lagi.
Menurutnya, bahasa bukan sekedar alat berkomunikasi tapi merupakan identitas bangsa. Lebih jauh, ketika kita sudah kehilangan bahasa Indonesia sebagai bahasa kebangsaan kita, boleh jadi kita akan kehilangan identitas kita sebagai bangsa Indonesia.
Saefullah mengungkapkan tiga solusi mengatasi tergerusnya bahasa Indonesia oleh bahasa asing.
Ungkapan bahasa asing ini lumrah didengar dalam keseharian, mulai dari waktu-waktu mengobrol santai hingga pada pembicaraan serius. Acap kali kaum muda berbahasa dengan mencampurkan bahasa Indonesia dan bahasa asing dalam percakapannya.
Tokoh kisah di atas, Nila Kusumasari (19), mahasiswa salah satu Universitas di Bandung, mengungkapkan kebanyakan orang mencampurkan bahasa asing dalam bahasa sehari-hari karena ingin terlihat keren.
Nila sendiri saat mengobrol sering mencampurkan bahasa Inggris, terutama dalam percakapan sehari-harinya. “Kadang ada beberapa kata bahasa Inggris yang bisa lebih enak disebutkan karena lebih simple, lebih simple,” selorohnya sambil tersenyum.
Fenomena percampuran bahasa dalam percakapan dimaknai senada oleh Purwanti Hadisiwi (50), ahli Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom), Universitas Padjadjaran (Unpad) saat ditemui di Gedung Pascasarjana Fikom Unpad, pada Kamis (18/9). Perempuan berjilbab ini mengungkapkan, komunikasi berkaitan erat dengan budaya, sehingga ketika berkomunikasi kita perlu menyesuaikan bahasa yang digunakan dengan lawan bicara. Misalkan kita sedang mengobrol dengan laki-laki bersuku Jawa, kita memanggilnya mas dan menggunakan campuran bahasa jawa dalam percakapan.
Penyesuaian bahasa ini guna membentuk komunikasi yang lebih efektif. “Maksudnya itu mudah-mudahan membuat pesan yang saya sampaikan bisa seratus persen,” ungkapnya.
Ibu Pur (sapaannya) mengungkapkan, khusus bahasa Inggris ia menerapkan penggabungan bahasa dalam kegiatan akademik, seperti ketika berada di kelas. Hal ini guna memacu mahasiswa untuk memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang baik. Menurutnya, bahasa Inggris adalah bahasa yang menjadi modal berkomunikasi saat bekerja.
Bahasa Indonesia di masa lalu
Hal ini berbeda dengan yang diungkapkan Saefullah (49), dosen antropologi linguistik, saat ditemui pada Jum’at (19/9) lalu. Ia bercerita mengenai pemuda di zaman penjajahan, Pemuda-pemuda di tahun 1928 meresmikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan menggunakannya dalam keseharian. Mereka memiliki kemampuan berbahasa asing seperti Belanda, Inggris, Jepang dan lain-lain, namun mereka tidak meninggalkan bahasa Indonesia dan tetap menjunjungnya.“Mereka merasa bangga dengan bahasa Indonesia,” ungkap dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unpad ini. Di tengah termajinalkannya bangsa Indonesia zaman penjajahan itu, bangsa Indonesia semakin bangga berbahasa Indonesia dengan selalu menggunakannya dalam keseharian. Hal ini juga merupakan bentuk pemberontakan bangsa Indonesia di zaman itu.
Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa melayu ini, sangat dijunjung oleh Presiden kedua Indonesia, Soeharto, seperti diceritakan oleh Saefullah. Setiap pidato kenegaraannya, Soeharto selalu menggunakan bahasa Indonesia, baik itu di Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) maupun pidato hubungan antar dua negara saja.
Soeharto sendiri bukan tidak bisa berbahasa asing, karena dalam percakapan biasa ia mampu berbahasa Inggris dengan cukup baik. Bahkan, Soeharto pernah suatu ketika menegur pengalih bahasanya, “kamu salah mengartikan bahasa Inggris ini, seharusnya diartikan itu dalam konteks ini,” begitu papar Saefullah. Soeharto menunjukan bahwa bahasa Indonesia merupakan identitas bangsa Indonesia di mata dunia.
Realita saat ini
Saefullah membandingkan Indonesia dengan Malaysia dalam penggunaan bahasa. “Malaysia menjadikan bahasa melayu sebagai bahasa resmi Negara dan menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua”, tuturnya. Kedua bahasa yang berbeda ini tidak saling menghilangkan, bahkan saling melengkapi. Terdapat kosa kata yang tidak dapat dijelaskan dalam bahasa melayu dapat dijelaskan bahasa Inggris, begitu juga sebaliknya.Hal ini bertolak belakang dengan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, menurutnya “Jika di Indonesia diberlakukan hal yang sama seperti di Malaysia, bahasa Indonesia akan hilang dan orang Indonesia akan cenderung menggunakan bahasa Inggris.”
Pria yang saat ditemui berpakaian batik ini mengungkapkan, bahasa Indonesia akan tergerus bahasa asing, karena masyarakat Indonesia cenderung tidak bangga terhadap apa yang berasal dari bangsanya, termasuk bahasa. Orang Indonesia malas untuk memadankan kata yang berbahasa Inggris dengan bahasa Indonesia, seperti kata ‘download’ yang dipadankan dengan kata ‘unduh’. Bahasa Indonesia disepelekan karena dianggap bahasa sehari-hari yang tidak perlu dipelajari lebih dalam lagi.
Menurutnya, bahasa bukan sekedar alat berkomunikasi tapi merupakan identitas bangsa. Lebih jauh, ketika kita sudah kehilangan bahasa Indonesia sebagai bahasa kebangsaan kita, boleh jadi kita akan kehilangan identitas kita sebagai bangsa Indonesia.
Saefullah mengungkapkan tiga solusi mengatasi tergerusnya bahasa Indonesia oleh bahasa asing.
- Penggunaan bahasa yang benar harus dimulai dari lingkaran terkecil, keluarga. Orang tua harus memberikan pemahaman yang baik mengenai bahasa Indonesia. Orang tua harus membiasakan anaknya berbahasa Indonesia yang baik dan benar di rumah.
- Sekolah, kurikulum pendidikan bahasa harus dibenahi. Ia mengungkapkan kurikulum pendidikan bahasa Indonesia saat ini masih kurang baik, karena pembelajarannya tidak masuk kepada inti-inti kebahasaan dan hanya membahas permukaan saja.
- Lingkungan, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar harus dicontohkan di lingkungan remaja atau pemuda. Di sinilah fungsi media massa untuk mengajari berbahasa yang baik dan benar, bukan dengan mencampuradukannya dengan bahasa asing. Selanjutnya: Ini Gambar Uang Terbaru Indonesia 2016
Artikel ini sebelumnya telah diterbitkan oleh : bahasaindonesi4ku.wordpress.com.
Share Yuk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar