Masyarakat adat adalah masyarakat yang selalu memegang prinsip perdamaian, sayang menyayangi,hormat meghormati antar umat beragama, serta menjadi simbol pertahanan warisan para leluhur mereka yang agung. Itulah pernyataan dari tetua pranata adat karang bajo,raden pahrianom.
Sebuah kearifan lokal di sudut kabupaten Lombok utara terlihat pada rumah-rumah adat kokoh dari kayu dan kantor-kantor para tetua adalah berugak, merupakan sebuah gambaran bagaimana masyarakat bayan menanamkan pembelajaran kepada anak cucunya bahwa tidak ada strata sosial, rumah mereka sama, tebukti dengan tidak adanya rumah adat yang di buat dengan model berbeda. Dan berugak tempat duduk bermusyawarah di katakan simbol manusia itu derajatnya sama,duduk sama rendah berdiri sama tinggi
Bahan bahan Pembuatan rumah adat dan berugak yang seluruhnya dari kayu,di ambil dari hutan adat, yang di jaga dengan ketat. Serta di atur di lembaga adat.
Tidak berlebihan kiranya jika bayan di katakan sebagai panutan jika di lhat dari tanggung jawab masyarakatnya mempertahankan lingkungan serta sumber daya alam mereka yang melimpah, hutan adat dengan luas kurang lebih 400 hektar mampu di jaga dengan baik dan tertata.
Dengan aturan adat ketat dan hukum adat yang nyaris sangat berat ternyata bisa menumbuhkan kesadaran masyarakat sekitarnya bahwa hutan merupakan sumber penghidupan,hutan adalah sumber mata air, yang nantinya mengairi sawah ladang mereka sehingga tidak menemukan kesulitan hidup nantinya
Tidak main main, para tetua adat karang bajo menetapkan aturan lewat gundem (musyawarah), untuk melestarikan hutan adat, hutan adat tidak di bagi lalu kemudian di jaga orang perorang seperti terlihat di k desa desa lain,namun di jaga bersama dan tanggung jawab bersama.
Sanksi menebang satu pohon tanpa melalui gundem adalah, mengeluarkan sapi satu ekor, kepeng tepong sejumlah 244, ayam betina putih satu ekor,kelapa 4 buah dan gula merah satu longsor. Semua itu di keluarkan apada saat upacara maulid adat atau pada hari raya, seandainya semua denda itu tidak keluarkan maka orang tersebut tidak akan di layani secara adat, malah akan di keluarkan dari desa adat tersebut.
Menurut keterangan amalokapande sebutan untuk pejabat adat di sana, selama ini tidak pernah ada yang berani menebang pohon di hutan secara diam diam karna takut dengan sanksi tersebut. Jangankan pohon yang masih kokoh, pohon tumbang dengan sendirinya pun tidak boleh di ambil sembarangan. “ biarkan dia menjadi tanah” ujar amalokapande
Di bayan beleq lain lagi, mereka memelihara hutan adat mereka melalui ritual adat memohon kemakmuran dan kesuburan hutan, ritual tersebut di lakukan sekali dalam delapan tahun.
Suguhan-suguhan menarik di desa adat karang bajo dan bayan beleq, menggiring pengetahuan kita lebih dalam tentang bagaimana masyarakat adat sebenarnya dalam menjalankan agama mereka. Di bayan terdapat salah satu masjid kuno, masjid kuno tersebut adalah simbol bahwa masyarakatnya sebagian besar penganut ajaran islam.
Di luar tersebar bayan itu desa masyarakat sesat, mereka menganut ajaran islam kuno yaitu waktu telu,yang sebenarnya keluar dari ajaran islam sesungguhnya.
Tidak tau siapa sebenarnya yang membuat plesetan makna yang tidak benar itu, secara jelas kami di sebutkan bahwa waktu telu bahasa kita di luar bayan yang sebenarnya di sebut wetu telu/metu telu oleh orang bayan bukan di maksudkan untuk waktu solat, tapi sebuah falsafah adat luhur, yaitu sebuah sebuatan lain dari mentiok, mentelok, dan menganak. Ketiga falsafah tersebut di artikan sebuah kelahiran segala mahluk di muka bumi ini.
Mentiok bahasa indonesianya tumbuh, di maksudkan untuk falsafah tumbuhan yang tumbuh dari tanah dan jika matipun akan ke tanah, mentelok ( bertelur) di maksudkan untuk hewan, yang berkembang biak lebih umumnya keseluruhan hewan di katakan bertelur meskipun ada dengan cara beranak, dan yang terakhir menganak (beranak/melahirkan) di maksudkan untuk manusia, beranak pinak dengan melahirkan.
Dan falsafah lain tentang metu telu/wetu telu adalah umat islam di dalam menunaikan rukun islam yang 5, tidak di wajibkan untuk melakukan semuanya, tapi tiga di 2 di antaranya di lakukan jika mampu, yaitu berpuasa dan berhaji. Dan tiga sisanya itulah yang menjadi wetu/metu telu, wajib di lakuakan oleh umat islam
Di sebut masyarakat bodoh dan kolot, masyarakat di sana menyangkal, mereka mengikuti perkembangan zaman sebatas tidak merubah adat mereka, di samping rumah adat juga di bolehkan membangun rumah batu, hal tersebut di utarakan kepala desa karang bajo , para tetua membolehkan pembangunan rumah batu di karenakan tidak bisa membendung keinginan masyarakatnya, yang sebenarnya adat mereka tidak membolehkan pembangunan rumah selain rumah adat.
Untuk mempertahankan adat lingkungan karang bajo di bayan, anak anak muda selaku penerus para tetua adat sudah sejak jauh jauh hari di didik dan di ajarkan keseluruhan adat di sana, hingga pada waktunya para pemuda dari (perusa) garis keturunan siap untuk mengambil alih jabatan di lembaga adat
Lebih jauh tentang ketidak adilan pemerintah terhadap pelayanan untuk masyarakat adat karang bajo dan bayan beleq dende kusuma wati selaku inaq loka mewakili masyarakat adat seluruhnya mengharapkan untuk pemerintah daerah memasukkan permasalahan masyarakat adat desa bayan di atur dalam peraturan daerah. Baca juga : Berani Nggak Ayunan di Tempat Ini?
Sebuah kearifan lokal di sudut kabupaten Lombok utara terlihat pada rumah-rumah adat kokoh dari kayu dan kantor-kantor para tetua adalah berugak, merupakan sebuah gambaran bagaimana masyarakat bayan menanamkan pembelajaran kepada anak cucunya bahwa tidak ada strata sosial, rumah mereka sama, tebukti dengan tidak adanya rumah adat yang di buat dengan model berbeda. Dan berugak tempat duduk bermusyawarah di katakan simbol manusia itu derajatnya sama,duduk sama rendah berdiri sama tinggi
Bahan bahan Pembuatan rumah adat dan berugak yang seluruhnya dari kayu,di ambil dari hutan adat, yang di jaga dengan ketat. Serta di atur di lembaga adat.
Tidak berlebihan kiranya jika bayan di katakan sebagai panutan jika di lhat dari tanggung jawab masyarakatnya mempertahankan lingkungan serta sumber daya alam mereka yang melimpah, hutan adat dengan luas kurang lebih 400 hektar mampu di jaga dengan baik dan tertata.
Dengan aturan adat ketat dan hukum adat yang nyaris sangat berat ternyata bisa menumbuhkan kesadaran masyarakat sekitarnya bahwa hutan merupakan sumber penghidupan,hutan adalah sumber mata air, yang nantinya mengairi sawah ladang mereka sehingga tidak menemukan kesulitan hidup nantinya
Tidak main main, para tetua adat karang bajo menetapkan aturan lewat gundem (musyawarah), untuk melestarikan hutan adat, hutan adat tidak di bagi lalu kemudian di jaga orang perorang seperti terlihat di k desa desa lain,namun di jaga bersama dan tanggung jawab bersama.
Sanksi menebang satu pohon tanpa melalui gundem adalah, mengeluarkan sapi satu ekor, kepeng tepong sejumlah 244, ayam betina putih satu ekor,kelapa 4 buah dan gula merah satu longsor. Semua itu di keluarkan apada saat upacara maulid adat atau pada hari raya, seandainya semua denda itu tidak keluarkan maka orang tersebut tidak akan di layani secara adat, malah akan di keluarkan dari desa adat tersebut.
Menurut keterangan amalokapande sebutan untuk pejabat adat di sana, selama ini tidak pernah ada yang berani menebang pohon di hutan secara diam diam karna takut dengan sanksi tersebut. Jangankan pohon yang masih kokoh, pohon tumbang dengan sendirinya pun tidak boleh di ambil sembarangan. “ biarkan dia menjadi tanah” ujar amalokapande
Di bayan beleq lain lagi, mereka memelihara hutan adat mereka melalui ritual adat memohon kemakmuran dan kesuburan hutan, ritual tersebut di lakukan sekali dalam delapan tahun.
Suguhan-suguhan menarik di desa adat karang bajo dan bayan beleq, menggiring pengetahuan kita lebih dalam tentang bagaimana masyarakat adat sebenarnya dalam menjalankan agama mereka. Di bayan terdapat salah satu masjid kuno, masjid kuno tersebut adalah simbol bahwa masyarakatnya sebagian besar penganut ajaran islam.
Di luar tersebar bayan itu desa masyarakat sesat, mereka menganut ajaran islam kuno yaitu waktu telu,yang sebenarnya keluar dari ajaran islam sesungguhnya.
Tidak tau siapa sebenarnya yang membuat plesetan makna yang tidak benar itu, secara jelas kami di sebutkan bahwa waktu telu bahasa kita di luar bayan yang sebenarnya di sebut wetu telu/metu telu oleh orang bayan bukan di maksudkan untuk waktu solat, tapi sebuah falsafah adat luhur, yaitu sebuah sebuatan lain dari mentiok, mentelok, dan menganak. Ketiga falsafah tersebut di artikan sebuah kelahiran segala mahluk di muka bumi ini.
Mentiok bahasa indonesianya tumbuh, di maksudkan untuk falsafah tumbuhan yang tumbuh dari tanah dan jika matipun akan ke tanah, mentelok ( bertelur) di maksudkan untuk hewan, yang berkembang biak lebih umumnya keseluruhan hewan di katakan bertelur meskipun ada dengan cara beranak, dan yang terakhir menganak (beranak/melahirkan) di maksudkan untuk manusia, beranak pinak dengan melahirkan.
Dan falsafah lain tentang metu telu/wetu telu adalah umat islam di dalam menunaikan rukun islam yang 5, tidak di wajibkan untuk melakukan semuanya, tapi tiga di 2 di antaranya di lakukan jika mampu, yaitu berpuasa dan berhaji. Dan tiga sisanya itulah yang menjadi wetu/metu telu, wajib di lakuakan oleh umat islam
Di sebut masyarakat bodoh dan kolot, masyarakat di sana menyangkal, mereka mengikuti perkembangan zaman sebatas tidak merubah adat mereka, di samping rumah adat juga di bolehkan membangun rumah batu, hal tersebut di utarakan kepala desa karang bajo , para tetua membolehkan pembangunan rumah batu di karenakan tidak bisa membendung keinginan masyarakatnya, yang sebenarnya adat mereka tidak membolehkan pembangunan rumah selain rumah adat.
Untuk mempertahankan adat lingkungan karang bajo di bayan, anak anak muda selaku penerus para tetua adat sudah sejak jauh jauh hari di didik dan di ajarkan keseluruhan adat di sana, hingga pada waktunya para pemuda dari (perusa) garis keturunan siap untuk mengambil alih jabatan di lembaga adat
Lebih jauh tentang ketidak adilan pemerintah terhadap pelayanan untuk masyarakat adat karang bajo dan bayan beleq dende kusuma wati selaku inaq loka mewakili masyarakat adat seluruhnya mengharapkan untuk pemerintah daerah memasukkan permasalahan masyarakat adat desa bayan di atur dalam peraturan daerah. Baca juga : Berani Nggak Ayunan di Tempat Ini?
Share Yuk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar