Matematika, bisa dibilang sebuah kewajiban yang harus ditunaikan untuk mempelajarinya. Bukan berarti dosa jika tidak melakukannya, melainkan ini adalah ilmu yang akan digunakan sepanjang masa, bukan dengan kata hubung mungkin lagi, tapi pasti. Dimulai dari pendidikan dasar, hingga ke jenjang jenjang berikutnya akan menjadi tuntutan wajib.
Keluhan umum dan sudah bukan rahasia lagi, jika matematika menjadi masalah yang sangat ditakutkan. Bagi pelajar, bagi anak anak kita bahkan kitapun pernah merasakan pada waktu jaman sekolah dahulunya. Dasar penarikan kesimpulan yang kekal dari ‘matematika itu susah’ entah dari mana, yang pasti ini telah menjadi turun temurun pewarisan prinsip prinsip ini. Menilik akar permasalahan tersebut, inLine merasa tertarik untuk membahas kenapa matematika itu sulit?
Hal pertama yang menjadikan matematika itu sulit adalah pola pikir dan sugesti. Lebih tepatnya dari faktor intern anak tersebut. Pelajar tidak melihat adanya relasi dan kesinambungan dari apa yang mereka pelajari dalam matematika dengan kegunaan matematika itu sendiri di masa depan. Yang mereka tahu adalah matematika ilmu berhitung, menghitung tak jelas. Menghitung nilai x, menghitung nilai y. Terus belajar apalagi 1+1 =2 “ Anak PAUD juga tahu hal ini”. Konsep inilah yang melemahkan keinginan untuk belajar matematika sehingga ada rasa keterpaksaan dalam diri mereka yang bersinergi dengan ketidak-nyambungan ketika belajar. Ketika ujian, mendapatkan nilai jelek, kesimpulan yang didapat; matematika itu memang sulit.
Pemikiran peserta didik untuk hal semacam ini, tidak bisa disalahkan begitu saja. Disini akan dituntut peran serta guru untuk lebih men-sosialisasikan penerapan konsep matematika dalam konteks yang real. Penyederhanaan dalam melakukan hal ini bisa dengan memberikan penjelasan pengantar tujuan belajar topik ini, kegunaan belajar topik ini nanti buat apa? Contoh pengaplikasian topik ini dalam kehidupan sehari hari seperti apa?
Dalam melakukan hal tersebut, tentu jika mereka tahu kegunaan dan aplikasinya mereka akan lebih memiliki rasa ingin tahu yang lebih. Selain itu bagi orang tua, peran seperti ini juga bisa dilakukan mengingat tidak banyak guru matematika yang melakukan ini disekolah. Orang tua bisa mendampingi anaknya belajar, “ kamu lagi belajar apa?” “ Oh itu, penting ini, kamu harus bisa karena tentang ini gunanya buat...” Jika-pun tidak memiliki pengetahuan yang luas, gunakan fasilitas internet untuk browsing manfaat dan kegunaan topik yang mereka pelajari. Ingatlah kata bijak yang mengatakan.
Hanya orang yang tidak tahu manfaat uang, yang tidak butuh uangPenyebab kesulitan yang ber-hirearki adalah tidak dikonstruksinya pengetahuan secara mandiri. Pelajar seharusnya diberikan kesempatan untuk mengkonstruksi pengetahuan, membangun pemahaman. Kebiasaan terburuk yang sering dijumpai adalah dengan “kalau soal ini, rumusnya ini”. Apabila mereka dihadapkan pada soal lain, mereka terbiasa meingingat rumus yang cocok. Beda, bilamana mereka bisa membangun pemahaman dalam belajar, jika dihadapkan pada sebuah permasalah, mereka akan berupaya memikirkan jalan keluar atau solusinya bukan mencoba mengingat rumus. Hal ini telah diterapkan oleh negara Singapore. Terbukti, dengan cara mengajar tersebut, kurikulum pendidikan Singapore mulai banyak di adopsi untuk pendidikan dasar.
Keunggulan disini salah satunya yaitu pelajar tidak langsung disuruh menghitung, melainkan harus melalui tahap. Problem-Diagram (menulis gambaran umum masalah) – Aritmatika (Menghitung). Untuk di negara kita sendiri langkah instannya dari Problem – Aritmatika. Melewatkan langkah kedua ini yang berakibat fatal jika dihadapkan ke dalam permasalahan yang lebh rumit. Inilah yang menjadi matematika itu susah bagi peserta didik, kebiasaan menyelesaikan masalah tanpa harus mengambarkan sebenarnya permasalahan ini apa. Coba perhatikan pada gambar awal postingan bagaimana mengajarkan perkalian.
Share Yuk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar