Salah satu destinasi wisata syariah di Jakarta adalah rumah pendekar legendaris Betawi, si Pitung. Letaknya di Jakarta Utara, tepatnya di Kampung nelayan Marunda.Destinasi wisata ini bila dikembangkan bisa meningkatkan sektor pendukung lain seperti makanan, cinderamata khas Jakarta Utara ataupun dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan sebagainya.Tempat Tidur si Pitung 300x168 MENILIK JEJAK RUMAH SI PITUNG
Mengutip situs artikata.com, berarti melihat dengan sungguh-sungguh, mengamat-amati (nasib orang), mengawasi, memeriksa, menjenguk, memandang, menganggap, meninjau (silsilah keluarganya), dan seterusnya. Dalam sebuah kesempatan, tim Mi’raj Islamic News Agency menilik ke Rumah si Pitung di Kampung Marunda, kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, sekitar satu kilometer dari Pelabuhan Tanjung Priok.
Si Pitung adalah seorang pejuang asal Betawi, ia dikenal sebagai sosok pendekar Jakarta dalam menghadapi ketidakadilan yang ditimbulkan oleh penguasa Hindia Belanda pada masa itu. Kisah si Pitung ini diyakini nyata kebenaranya oleh para tokoh masyarakat Betawi terutama di daerah Kampung Marunda di mana terdapat rumah dan peninggalan sejarah si Pitung yang kini menjadi benda cagar budaya dan dikelola oleh Kementerian Pariwisata. Menurut legenda, si Pitung diidentikan dengan tokoh Betawi yang rendah hati dan seorang muslim yang shaleh.
Di mata Belanda si Pitung adalah perampok dan penjahat yang harus ditumpas. Namun, di kalangan rakyat Betawi si Pitung adalah pahlawan, apa yang dilakukannya adalah untuk kepentingan rakyat miskin semata. Menurut legenda juga disebutkan, si Pitung mempunyai ilmu menghilang. Ketika seorang polisi Belanda bernama Schout van Hinne melihat si Pitung masuk ke sebuah rumah, ia mencarinya akan tetapi si Pitung tidak ditemukan. Padahal, jelas-jelas si Pitung masuk ke rumah itu.
Rumah panggung itu konon sebenarnya bukanlah milik si Pitung, tapi milik seorang Juragan betawi bernama Haji Syafiuddin, hanya saja jagoan asal Betawi itu pernah menempatinya dan tinggal disana. Versi pertama mengatakan Pitung merampok rumah Haji Syafiuddin. Versi kedua meragukan kalau Haji Syafiuddin dirampok. Diperkirakan justru terjadi kesepakatan antara Pitung dan Haji Syafiuddin. Banyak yang meyakini versi kedua yang lebih mungkin terjadi, termasuk ahli sejarah betawi, Ridwan Saidi. Ridwan Saidi, Budayawan Betawi, dalam majalah Tani edisi April 2009, mengungkapkan bahwa Ibu kandung Pitung berasal dari Rawa Belong, Ayahnya berasal dari kampong Cikoneng, Tanggerang.
Diperkirakan Pitung lahir pada tahun 1866 di Tanggerang. Sekitar usia delapan tahun Pitung merasakan kehidupan yang pahit. Kedua orang tuanya bercerai. Ibunya menolak dijadikan Istri kedua. Pitung bersama ibunya kembali ke kampong Rawa belong, sedangkan Ayahnya menetap di Kampung Cikoneng bersama istri mudanya dan tetap bekerja pada tuan tanah Cikoneng.
Di Rawa Belong, si Pitung mengembala kambing milik kakek dan ibunya. Pitung mengembara dengan dendam yang amat sangat terhadap kekerasan. Dalam pengembaraanya itu sampailah di Kampung Kemayoran, dan berkenalan dengan Guru Na’ipin ahli tarikat yang ahli silat. Guru Na’ipin adalah murid guru Cit seorang mursyid guru tarekat kampung Pacenongan, Jakarta pusat.
Sekitar enam tahun Si Pitung belajar dengan Guru Na’ipin. Guru Na’ipin bersahabat dengan Mohammad Bakir, pengarang Betawi akhir abad XIX. Karya Mohammad Bakir tersimpan di sejumlah Museum terkemuka di dunia antaralain; St Petersburg, Rusia, London, dan Negeri Belanda. Dari titik inilah Na’ipin membangun hubungan dengan jaringan jembatan Lima, Jakarta barat yang ketuanya di Pimpin oleh bang Sa’irin, yang sebelumnya dipimpin oleh Bang Sa’dullah yang juga seoarang pengarang asal betawi. Dikampung inilah segala gagasan pemberontakan dan perlawanan terhadap Belanda berkobar sepanjang abad XIX dan permulaan abad XX.
Si Pitung selama delapan tahun (1886-1894) telah meresahkan Batavia. Penasehat pemerintah Hindia Belanda urusan BumiPutra, Snouch Hurgronje mengecam habis kepala Polisi Batavia Schout Hjne yang tak mampu menangkap Pitung. Hurgronje menganggap amat keterlaluan kalau seorang eropa seperti Hijne sampai harus berdukun untuk dapat menangkap Pitung.
Selanjutnya Hurgronje menganggap kepala polisi sangat tidak terpelajar, yang tak mampu menghadirkan alat transportasi baru kereta api yang denganya Pitung hilir mudik. Lebih menggusarkan lagi si Pitung dapat meloloskan diri dari penjara Masteer Cornelis ketika tertangkap pada tahun 1891. Tidak hanya itu, diluar penjara si Pitung masih sempat membunuh demang kebayoran yang menjadi musuh petani-petani kebayoran dan telah pula menjebloskan saudara misan Pitung bernama Ji’ih yang kemudian dihukum mati.
Margriet van Teel dalam laporanya penelitianya (1984), sebagaimana disiarkan, Bijdragen tahun penerbitan semasa itu, mengungkapkan bahwa Polisi pernah mengrebek rumah Si Pitung di Rawa Belong, Jakarta Barat, dan ternyata, di rumah itu yang ditemukan hanyalah beberapa keeping uang benggolan senilai 2,5 sen yang tersimpan di bambu. Padahal selama delapan tahun Pitung melakukan aksi perampokan dengan sasaran saudagar yang bersekutu dengan Belanda dan mengeruk uang dan emas permata yang tidak sedikit nilai jumlahnya. “Si Pitung adalah Robin Hood-nya Indonesia, ia merampok untuk rakyat kecil,” kata ketua RT 001 Marunda, H. Thirmidzi yang ditemui Mi’raj Islamic News Agency.
Naskah Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Utara 2009 menjelaskan, dalam menjalankan aksi perampokanya Si Pitung tidak membangun komplotan. Melainkan kompak berdua dengan Ji’ih. Setelah Ji’ih tertangkap dan dihukum mati, si Pitung melakukan aksinya seorang sendiri. Dengan begitu, justru polisi Belanda sulit mendapatkan informasi tentang Pitung. Seringnya Pitung berkunjung ke Marunda, akhirnya tercium mata-mata Belanda, jalur Pitung dilacak. Pitung selalunya muncul dari pondok kopi, Jakarta timur, jika hendak ke Marunda.
Pada suatu petang Schout Hijne, dengan kekuatan satu regu pasukan polisi bersenjata lengkap menanti Pitung di Pondok Kopi. Tak ayal lagi begitu hari mulai gelap Pitung muncul. Ia di hujani Peluru. Pitung roboh, tapi tak langsung tewas, ia di bawa dengan mobil ambulan yang sudah disiapkan ke Rumah Sakit Militer kini RSPAD, Jakarta Pusat. Menurut laporan Margriet van Teel, sepanjang perjalan Pitung terus menerus menyanyikan lagu nina bobo, sehinga ditegur Schout Hijne apa kiranya permintaan Pitung terakhir karena tampaknya ajal hendak menjemput.
Pitung mengatakan ia minta dibelikan tuak, air nira dengan es. Permintaanya dikabulkan. Segelas air nira sejuk diminumnya, belumnya segelas itu berpulang. Pitung mati muda dalam usia dua puluh delapan tahun.
Akan tetapi hingga kini si Pitung masih melegenda, kisahnya juga di Filmkan, dan rumah si Pitung melalui Peraturan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 9 Tahun 1999, ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya. Lokasi perkampungan nelayan Marunda juga menjadi destinasi wisata kawasan rumah si Pitung. Kini perkampungan Marunda dan lokasi rumah si Pitung banyak dikunjungi pelancong dan wisatawan, termasuk masjid Al Alam di lokasi perkampungan nelayan Marunda yang konon juga menjadi tempat si Pitung berguru. Baca juga: Penting!!! Jika Ingin Berwisata di Jakarta.
Mengutip situs artikata.com, berarti melihat dengan sungguh-sungguh, mengamat-amati (nasib orang), mengawasi, memeriksa, menjenguk, memandang, menganggap, meninjau (silsilah keluarganya), dan seterusnya. Dalam sebuah kesempatan, tim Mi’raj Islamic News Agency menilik ke Rumah si Pitung di Kampung Marunda, kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, sekitar satu kilometer dari Pelabuhan Tanjung Priok.
Si Pitung adalah seorang pejuang asal Betawi, ia dikenal sebagai sosok pendekar Jakarta dalam menghadapi ketidakadilan yang ditimbulkan oleh penguasa Hindia Belanda pada masa itu. Kisah si Pitung ini diyakini nyata kebenaranya oleh para tokoh masyarakat Betawi terutama di daerah Kampung Marunda di mana terdapat rumah dan peninggalan sejarah si Pitung yang kini menjadi benda cagar budaya dan dikelola oleh Kementerian Pariwisata. Menurut legenda, si Pitung diidentikan dengan tokoh Betawi yang rendah hati dan seorang muslim yang shaleh.
Di mata Belanda si Pitung adalah perampok dan penjahat yang harus ditumpas. Namun, di kalangan rakyat Betawi si Pitung adalah pahlawan, apa yang dilakukannya adalah untuk kepentingan rakyat miskin semata. Menurut legenda juga disebutkan, si Pitung mempunyai ilmu menghilang. Ketika seorang polisi Belanda bernama Schout van Hinne melihat si Pitung masuk ke sebuah rumah, ia mencarinya akan tetapi si Pitung tidak ditemukan. Padahal, jelas-jelas si Pitung masuk ke rumah itu.
Rumah panggung itu konon sebenarnya bukanlah milik si Pitung, tapi milik seorang Juragan betawi bernama Haji Syafiuddin, hanya saja jagoan asal Betawi itu pernah menempatinya dan tinggal disana. Versi pertama mengatakan Pitung merampok rumah Haji Syafiuddin. Versi kedua meragukan kalau Haji Syafiuddin dirampok. Diperkirakan justru terjadi kesepakatan antara Pitung dan Haji Syafiuddin. Banyak yang meyakini versi kedua yang lebih mungkin terjadi, termasuk ahli sejarah betawi, Ridwan Saidi. Ridwan Saidi, Budayawan Betawi, dalam majalah Tani edisi April 2009, mengungkapkan bahwa Ibu kandung Pitung berasal dari Rawa Belong, Ayahnya berasal dari kampong Cikoneng, Tanggerang.
Diperkirakan Pitung lahir pada tahun 1866 di Tanggerang. Sekitar usia delapan tahun Pitung merasakan kehidupan yang pahit. Kedua orang tuanya bercerai. Ibunya menolak dijadikan Istri kedua. Pitung bersama ibunya kembali ke kampong Rawa belong, sedangkan Ayahnya menetap di Kampung Cikoneng bersama istri mudanya dan tetap bekerja pada tuan tanah Cikoneng.
Di Rawa Belong, si Pitung mengembala kambing milik kakek dan ibunya. Pitung mengembara dengan dendam yang amat sangat terhadap kekerasan. Dalam pengembaraanya itu sampailah di Kampung Kemayoran, dan berkenalan dengan Guru Na’ipin ahli tarikat yang ahli silat. Guru Na’ipin adalah murid guru Cit seorang mursyid guru tarekat kampung Pacenongan, Jakarta pusat.
Sekitar enam tahun Si Pitung belajar dengan Guru Na’ipin. Guru Na’ipin bersahabat dengan Mohammad Bakir, pengarang Betawi akhir abad XIX. Karya Mohammad Bakir tersimpan di sejumlah Museum terkemuka di dunia antaralain; St Petersburg, Rusia, London, dan Negeri Belanda. Dari titik inilah Na’ipin membangun hubungan dengan jaringan jembatan Lima, Jakarta barat yang ketuanya di Pimpin oleh bang Sa’irin, yang sebelumnya dipimpin oleh Bang Sa’dullah yang juga seoarang pengarang asal betawi. Dikampung inilah segala gagasan pemberontakan dan perlawanan terhadap Belanda berkobar sepanjang abad XIX dan permulaan abad XX.
Si Pitung selama delapan tahun (1886-1894) telah meresahkan Batavia. Penasehat pemerintah Hindia Belanda urusan BumiPutra, Snouch Hurgronje mengecam habis kepala Polisi Batavia Schout Hjne yang tak mampu menangkap Pitung. Hurgronje menganggap amat keterlaluan kalau seorang eropa seperti Hijne sampai harus berdukun untuk dapat menangkap Pitung.
Selanjutnya Hurgronje menganggap kepala polisi sangat tidak terpelajar, yang tak mampu menghadirkan alat transportasi baru kereta api yang denganya Pitung hilir mudik. Lebih menggusarkan lagi si Pitung dapat meloloskan diri dari penjara Masteer Cornelis ketika tertangkap pada tahun 1891. Tidak hanya itu, diluar penjara si Pitung masih sempat membunuh demang kebayoran yang menjadi musuh petani-petani kebayoran dan telah pula menjebloskan saudara misan Pitung bernama Ji’ih yang kemudian dihukum mati.
Margriet van Teel dalam laporanya penelitianya (1984), sebagaimana disiarkan, Bijdragen tahun penerbitan semasa itu, mengungkapkan bahwa Polisi pernah mengrebek rumah Si Pitung di Rawa Belong, Jakarta Barat, dan ternyata, di rumah itu yang ditemukan hanyalah beberapa keeping uang benggolan senilai 2,5 sen yang tersimpan di bambu. Padahal selama delapan tahun Pitung melakukan aksi perampokan dengan sasaran saudagar yang bersekutu dengan Belanda dan mengeruk uang dan emas permata yang tidak sedikit nilai jumlahnya. “Si Pitung adalah Robin Hood-nya Indonesia, ia merampok untuk rakyat kecil,” kata ketua RT 001 Marunda, H. Thirmidzi yang ditemui Mi’raj Islamic News Agency.
Naskah Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Utara 2009 menjelaskan, dalam menjalankan aksi perampokanya Si Pitung tidak membangun komplotan. Melainkan kompak berdua dengan Ji’ih. Setelah Ji’ih tertangkap dan dihukum mati, si Pitung melakukan aksinya seorang sendiri. Dengan begitu, justru polisi Belanda sulit mendapatkan informasi tentang Pitung. Seringnya Pitung berkunjung ke Marunda, akhirnya tercium mata-mata Belanda, jalur Pitung dilacak. Pitung selalunya muncul dari pondok kopi, Jakarta timur, jika hendak ke Marunda.
Pada suatu petang Schout Hijne, dengan kekuatan satu regu pasukan polisi bersenjata lengkap menanti Pitung di Pondok Kopi. Tak ayal lagi begitu hari mulai gelap Pitung muncul. Ia di hujani Peluru. Pitung roboh, tapi tak langsung tewas, ia di bawa dengan mobil ambulan yang sudah disiapkan ke Rumah Sakit Militer kini RSPAD, Jakarta Pusat. Menurut laporan Margriet van Teel, sepanjang perjalan Pitung terus menerus menyanyikan lagu nina bobo, sehinga ditegur Schout Hijne apa kiranya permintaan Pitung terakhir karena tampaknya ajal hendak menjemput.
Pitung mengatakan ia minta dibelikan tuak, air nira dengan es. Permintaanya dikabulkan. Segelas air nira sejuk diminumnya, belumnya segelas itu berpulang. Pitung mati muda dalam usia dua puluh delapan tahun.
Akan tetapi hingga kini si Pitung masih melegenda, kisahnya juga di Filmkan, dan rumah si Pitung melalui Peraturan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 9 Tahun 1999, ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya. Lokasi perkampungan nelayan Marunda juga menjadi destinasi wisata kawasan rumah si Pitung. Kini perkampungan Marunda dan lokasi rumah si Pitung banyak dikunjungi pelancong dan wisatawan, termasuk masjid Al Alam di lokasi perkampungan nelayan Marunda yang konon juga menjadi tempat si Pitung berguru. Baca juga: Penting!!! Jika Ingin Berwisata di Jakarta.
Share Yuk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar