Dalam menyampaikan sebuah pesan pembelajaran dan pendidikan tentu antara dua arah akan ada komunikasi yang terjadi. Komunikasi aktif dua arah antara pendidik dan yang di-didik. Banyak dari pendidik yang kadang mengabaikan bagian ini. Pengetahuan mereka hanya mengenal bagaimana berbahasa yang bisa dipahami saja.
Penggunaan bahasa memang terlalu luas untuk di bahas. Termasuk dalam berkomunikasi di bidang pendidikan ini. Pemilihan kata dan kalimat yang tepat tentu akan menciptakan pemahaman yang cepat. Sehubung dengan hal tersebut, pemilihan kata juga akan menyangkut dampak psikologi pada si penerima pesan. Dengan kata yang baik pasti seseorang akan mudah menerima daripada menggunakan kata yang kurang tepat. Bisa dibayangkan jika sebuah komunikasi diterima dengan hati yang kuran terbuka oleh penerima pesan. Sebagai contoh “ Hei, Bawakan buku itu padaku!” bandingkan dengan kalimat “ Tolong Bawakan buku itu padaku”. Terlihat jelas tujuan dua kalimat tersebut sama. Tetapi jika dua orang berbicara seperti itu kepada anda, siapakah yang lebih anda senang untuk dibantu?
Begitu juga dalam pendidikan, dimana peran pendidik untuk mengarahkan, mengajak dan menyuruh. Pemilihan kata yang tepat pastinya akan menjadi kesan dan menentukan respon dari peserta didik. Salah satu kata yang sering tak terpikirkan dan berefek besar adalah penggunaan kata ganti orang dalam berkomunikasi.
Dalam konteks yang lebih sempit mungkin kata saya, aku, gue dipastikan berarti sama. Begitu juga kamu, kau dan loe. Tetapi kata ganti dan panggilan tersebut sejatinya secara psikologis akan berbeda. Misalkan pemakaian kata saya dan kamu, ini seolah olah jika dirasakan ada sebuah ‘celah’ kosong, pembatas. Lalu aku dan kau, hampir sama tidak akan dirasakan sebuah kedekatan antara dua pembicara tersebut. Sementara pemakain kata ganti loe-gue dipastikan terlalu informal tanpa ada selipan ‘hormat’. Dalam mendidik inilah yang kadang tak pernah terpikirkan bagaimana memilih kata tersebut dengan baik. Sesuai bagaimana mendidik yang baik disarankan,
Masuki dunia mereka, bawa mereka ke dunia kita, kembalikan dia ke dunia-nya.Dalam kalimat tersebut terlihat jelas, mereka akan terkesan jika saat di bawa ke dunia kita – mereka menemukan sebuah pengalaman yang baik sehingga memberi efek positif pada diri mereka. Jika mengunakan kata ganti seperti di atas, bagaimana bisa membawa mereka ke dunia pendidik?
Pemilihan kata ganti yang sangat disarankan adalah kita. Dalam menggunakan kata kita, seolah olah ada kebersamaan. Dimana berdiri di suatu posisi dan hendak menuju posisi berikutnya secara bersama. Coba identifikasi 2 kalimat berikut,
“Kamu harus bisa menjumlahkan 1+1” Secara psikologis ini artinya menyurruh bisa. ‘kamu’ saja, sementara posisi ‘saya’ tak tahu ada dimana.
“Kita harus bisa menjumlahkan 1+1” disini akan terlihat sebuah ajakan. “ Kita” harus sama sama bisa menjumlahkan 1+1. Terlihat jelas kebersamaan di sini. Sebagai contoh lebih sederhana “ Saya Lapar” (yang pasti si pembicara yang lapar, lawan bicara tidak dipedulikan entah lapar entah tidak). “ Kita Lapar (disini ada kebersamaan, bahwa sama sama lapar).
Penciptaan kesan “bersama” ini sangat penting. Karena dengan “bersama” ini bisa mengajak dan diterima dengan sepenuh hati. Walaupun dengan bersama tersebut, buka berarti sama sama tidak mengetahui dan sama sama berkemampuan sama. Tanpa dijelaskan-pun mereka pasti sudah tahu bahwasanya pendidik telah memiliki kemampuan yang lebih.
Contoh lainnya yang paling sederhana bisa dilihat, sangat jarang ditemui seorang guru disekolah menjalin hubungan yang seperti pendidik harapkan. Ini mungkin dikarenakan adanya sistem katan ganti. Bapak / Ibu, seolah olah ada batas formal antara siswa dan murid. Bandingkan dengan pemakaian kata kakak (bisa dikatakan panggilan kakak dan sejenisnya, akan merasakan sebuah kedekatan tersendiri dengan yang memanggil ) ditempat tempat mereka les. Alhasil tak bisa dipungkiri dan bisa ditanyakan rata rata siswa lebih banyak senang dan merasa mudah belajar di tempat les mereka. Padahal secara logikanya, apapun alasannya pengalaman guru guru disekolah tentu lebih dari tutor tutor lesnya. Itu karena kedekatan yang dirasakan secara psikologis tersebut.
Artikel ini bukan bermaksud untuk menghakimi, Cuma bisa menjadi bahan untuk dipertimbangkan dalam titik pandang opini. Walaupun demikian ini bukan menyalahkan atau membenarkan suatu pihak, tetapi lebih pada instropeksi kepada kita bersama.
Share Yuk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar